Sabtu, April 18, 2009

MEDIA AUDIO VISUAL

Menurut Ashadi Siregar (Pakar Komunikasi), ada tiga fase budaya:
(1) fase budaya lisan,
(2) budaya tulis,
(3) budaya audio-visual.
 




Budaya lisan adalah tradisi berperilaku, berekspresi dan berkomunikasi yang berbasis bahasa lisan (tradisi bertutur). Ini kita temui dalam masyarakat tradisional yang cenderung mendokumentasi berbagai hasil-hasil kebudayaannya (kearifan lokal/local wisdom) dalam laci  ingatan dan bentuk ucapan/lisan.
 
 
Budaya tulis bisa dipahami sebagai tradisi beraktualisasi (berpikir, berekspresi dan mencipta karya) yang bertumpu  pada basis budaya tulisan (konsep). Dengan tulisan, orang merumuskan berbagai konsep tentang pengetahuan, sistem kepercayaan, temuan-temuan ilmiah, ekspresi seni, dan lainnya, sehingga semuanya bisa dilacak dan dipelajari kembali. Dengan cara itu, ada kesinambungan sejarah secara tekstual.
 
Sedangkan budaya audio-visual merupakan tradisi kehidupan yang berbasis pada sistem pencitraan (visualitas) dan sistem pendengaran (auditif). Media audio-visual, seperti televisi, adalah media yang aktif: ia datang kepada publik untuk mewartakan dan menyampaikan berbagai peristiwa dan ide estetik maupun ide sosial kepada publik penonton.


Budaya audio visual sebagai budaya yang terakhir dan terbaru memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam aspek informasi dan persuasi. Media ini terdiri dari dua elemen yang mempunyai kekuatannya masing-masing yang akhirnya bersinergi menjadi kekuatan yang dasyat.



Media audio visual ini punya kelebihan yaitu bisa memberikan gambaran yang lebih nyata serta meningkatkan retensi memori karena lebih menarik dan mudah diingat. Bagaimanapun kehadiran media audio visual tidak bisa kita hindari mengingat kelebihan dan daya tariknya yang luar biasa




Pada tahun 1996 , sekitar 90 juta penduduk Indonesia sudah memiliki pesawat televisi.
Diperhitungkan sejak 1994 pertambahan pesawat televisi di Indonesia sekitar 650.000 buah setiap tahunnya dan bisa diperkirakan dalam tahun 2007 terdapat 96.500.000 pesawat televisi.
Jika setiap pesawat TV ditonton oleh dua orang, jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai 193 juta orang atau 87% dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu pesawat video, VCD/DVD juga sudah merambah kemana-mana. Stasiun televisi juga semakin menjamur, baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten. Hal ini menjadi pertanda bahwa siaran TV atau bahasa audio visual menarik perhatian orang. Alasannya, bahasa audio visual mempunyai kekuatan khusus, yang mampu membangkitkan imajinasi dan menggerakkan hati.

Sebagai contoh kelebihan media audio visual yaitu :

"Tayangan Tsunami di Televisi Indonesia"


Tayangan bencana tsunami menimpa rakyat Aceh yang setiap hari kita disuguhi di layar kaca telah menggugat simpatik dan empatik kita dan ikut merasakan betapa pedihnya saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
 
Gelombang tsunami sangat dahsyat itu sempat diabadikan beberapa kamerawan amatir di mana maut tinggal sejengkal di depan mereka, dan melululantahkan benda dan makhluk apa saja yang ada di sekelilingnya.Kehadiran media massa yang menyuguhkan berita dan informasi bencana besar di Aceh khususnya medium televisi telah membawa pikiran, perasaan, dan hati nurani penonton berada di ruang-ruang keluarga yang seakan-akan hadir dan berada di tempat bencana. Gugahan emosi dan hati nurani publik digetarkan medium televisi lalu menghantarkan dan menjalarkan kesedihan mendalam seantero dunia (meminjam terminologi Victor Menayang).


Karena susah untuk dibayangkan, gelombang mahadahsyat ini yang merenggut nyawa puluhan ribu jiwa tidak akan berdampak signifikan seandainya berita dan informasi tidak dikemas dalam bentuk audio visual. Karena sifat media audio visual itu mampu ?menghipnotis? pikiran dan emosi penonton sehingga kita larut dalam suatu drama kesedihan dan kegembiraan.Kekuatan media (powerful media) dimiliki layar kaca berkaitan dengan bencana tsunami luar biasa dan telah menjadi bencana kemanusiaan maka beberapa stasiun televisi berupaya memproduk mata-mata acaranya baik dalam bentuk news maupun hiburan yang peduli dengan bencana tsunami.
 
Misalnya saja, selama hampir seminggu masing-masing stasiun televisi berlomba-lomba melaporkan kondisi terakhir di lokasi bencana, baik itu porak-porandanya infrastruktur disebabkan tsunami sampai pada masalah kondisi korban meninggal yang sudah mulai membusuk. Tidak kalah menariknya, adanya stasiun televisi berkali-kali menayangkan video amatir dalam berbagai peristiwa tentang ?drama? ketegangan dan kekejaman gelombang tsunami yang dialami warga. Tampilan audio visual televisi menyiarkan video amatir di mana warga yang sempat menyelamatkan diri diliputi rasa cemas, panik, gelisah, takut, menangis, perasaan was-was, dan khawatir bahkan dibenak mereka telah terjadi kiamat di Serambi Mekkah.

Kekuatan media begitu powerful dalam meliput peristiwa bencana luar biasa telah mengundang rasa kemanusiaan untuk membantu saudara-saudara kita yang ada di Aceh. Bahkan dari laporan media massa melaporkan bahwa bencana tsunami telah memunculkan, rasa simpatik dan empatik tidak saja dari masyarakat dalam negeri tetapi juga dari warga internasional. Terlepas dari beberapa kritik yang muncul bahwa tayangan televisi kita telah mengeksplotasi ketidakpantasan terhadap tayangan mayat-mayat bergelimpangan dan telah membusuk untuk dijadikan bahan pemberitaan.

Hanya saja, Victor Menayang mengungkap bahwa ukuran-ukuran kepantasan pemberitaan korban tsunami tidak bisa disamaratakan dengan ukuran budaya penayangan televisi dari luar. Karena, kepantasan berita sangat ditentukan faktor sejauhmana pekerja media memiliki ukuran nilai-nilai kemanusiaan dalam memberitakan suatu bencana. Yang jelas, tayangan televisi tentang berita dan informasi bencana tsunami dialami warga Aceh tidak hanya berdampak menembus batas ruang dan waktu tetapi juga telah menembus dan membangkitkan rasa solidaritas kemanusiaan tanpa sekat-sekat idelogi, kepercayaan, politik, bahkan pandangan hidup.
Hal tersebut dinampakkan dalam bentuk respon publik yang ada di Indonesia dan masyarakat internasional. Bahkan bencana kemanusiaan ini mungkin mampu menenggelamkan konflik antara gerakan separatis GAM dengan Pemerintahan Jakarta.